Asas Dominus Litis adalah prinsip hukum yang memberikan kewenangan penuh kepada jaksa sebagai pengendali utama dalam proses penanganan perkara pidana, mulai dari tahap penyidikan hingga eksekusi putusan. Dominus Litis (bahasa Latin: “tuan dari perkara”) merupakan prinsip hukum yang menegaskan bahwa pihak tertentu memiliki kendali penuh atas proses litigasi.
Dalam konteks hukum acara pidana, asas ini umumnya melekat pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai pemegang otoritas utama untuk mengendalikan jalannya penuntutan, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga upaya hukum.
Prinsip ini bertujuan menjamin kepastian hukum dan efektivitas penegakan keadilan, dengan menempatkan JPU sebagai “penguasa perkara” yang bertanggung jawab atas keputusan strategis dalam proses hukum.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), diatur melalui UU Nomor 8 Tahun 1981, asas Dominus Litis tercermin dalam beberapa ketentuan: Berkaitan dengan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan (Pasal 14 KUHAP) yang menentukan bahwa JPU berwenang mengarahkan penyidikan oleh penyidik (kepolisian) dan memutuskan apakah suatu kasus layak dilimpahkan ke pengadilan. Berkaitan dengan Pemberhentian Penuntutan (Pasal 140 KUHAP) yang menentukan bahwa JPU memiliki hak absolut untuk menghentikan penuntutan (deponering) berdasarkan alasan hukum atau kebijakan(opportuniteitsbeginsel).
Berkaitan dengan Upaya Hukum (Pasal 244 KUHAP) ditentukan bahwa JPU berwenang mengajukan kasasi atau peninjauan kembali (PK), mencerminkan kontrol atas proses hukum setelah putusan pengadilan.
Reformasi dalam RUU KUHAP berupaya memitigasi risiko ini melalui mekanisme persetujuan pengadilan. Kemudian ada kemungkinan terjadinya ketegangan dengan Hak Tersangka/Korban.
Meski RUU memperkuat hak korban, dominasi JPU tetap berpotensi mengabaikan suara korban dalam kasus tertentu, seperti kekerasan seksual atau korupsi.
Mengantisipasi hal-hal ini diatur tentang Peran Korban dalam Proses Hukum (Pasal 98 RUU KUHAP) ditentukan bahwa Korban atau ahli warisnya diberi hak mengajukan keberatan (revisi) terhadap keputusan JPU untuk menghentikan penuntutan.
Ini mengakomodasi prinsip keadilan restoratif dan mengurangi dominasi mutlak JPU. Kemudian perlu Penguatan Pengawasan Lembaga Yudisial, dimana RUU mengatur mekanisme pengawasan oleh Komisi Yudisial dan Ombudsman terhadap kinerja JPU, terutama dalam kasus yang melibatkan pelanggaran HAM berat atau kepentingan publik.
Disamping itu diatur Integrasi Asas Dominus Litis dengan Sistem Elektronik. RUU mengatur penggunaan teknologi informasi dalam pelaporan dan pelacakan proses hukum untuk meningkatkan transparansi kewenangan JPU (Pasal 72 RUU KUHAP).
Penulis :
Oleh:Prof. Dr. Maidin Gultom, S.H., M.Hum.
Guru Besar Hukum Pidana- Rektor Unika.