Jaringan News

TPL Dinilai Jadi Sumber Konflik dan Bencana di Sumatera Utara, Desakan Penutupan Menguat

Medan – Keberadaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di kawasan Tapanuli Raya dan Tapanuli Bagian Selatan terus menuai polemik. Perusahaan pabrik bubur kertas tersebut dinilai menjadi sumber konflik berkepanjangan dengan masyarakat, bahkan terindikasi melakukaTPL Dinilai Jadi Sumber Konflik dan Bencana di Sumatera Utara, Desakan Penutupan Menguatn pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

Direktur Lingkar Studi Pembangunan, Ansor Harahap, menyebut TPL telah membawa dampak buruk bagi Sumatera Utara. “Kehadiran TPL di Sumut seperti bencana yang tidak berkesudahan, mulai dari konflik tanah, penyebab banjir, hingga pelanggaran HAM,” ujarnya, Selasa (26/8/2025).

Menurut Ansor, TPL juga diduga menjadi salah satu penyebab banjir bandang yang melanda sejumlah titik di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, dan Samosir beberapa waktu lalu.

Sejak era 1990-an, ketika masih bernama PT Inti Indorayon Utama, TPL sudah memicu konflik panjang dengan masyarakat. Kini, sejak awal 2024, perusahaan tersebut memperluas wilayah operasi ke Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, dan Kota Padangsidimpuan. Masyarakat yang telah lama menguasai lahan, bahkan memiliki sertifikat tanah, disebut banyak yang diusir secara paksa.

“Bahkan masyarakat yang punya sertifikat tanah di Tapsel dan Sidimpuan justru diusir dari lahannya,” kata mantan Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Padang Lawas (Gema Palas) itu.

TPL disebut kerap berlindung di balik izin Kementerian Kehutanan, salah satunya SK Menteri Kehutanan RI No. 704/Menhut-II/2013 yang memberikan konsesi lahan seluas 28.340 hektare. Namun, di lapangan, areal yang diklaim sebagai hutan negara tersebut ternyata sudah lama dihuni dan digarap masyarakat.

Ansor menilai TPL tidak transparan terkait detail letak dan batas konsesi lahan tersebut. “TPL selalu mengandalkan izin dari Kementerian tanpa memikirkan aspek historis. Sementara itu, mereka tidak mampu menunjukkan peta detail konsesi, justru lahan masyarakat diklaim sebagai milik TPL. Ini jelas tidak bisa diterima,” tegasnya.

Selain di Tapanuli, TPL kini juga mengincar lahan di Kabupaten Padang Lawas (Palas) melalui skema kemitraan dengan kelompok tani hutan, seperti Gapoktan Bukit Mas di Kecamatan Sosopan. Rencana ini kembali memicu konflik, bahkan dikhawatirkan menimbulkan gesekan horizontal antarwarga.

Belakangan, desakan agar TPL segera ditutup semakin gencar disuarakan. Tidak hanya dari masyarakat, tetapi juga datang dari institusi keagamaan seperti HKBP, serta elemen masyarakat Batak Toba dan Angkola di Tapanuli Selatan.

Ansor menilai, pemerintah provinsi maupun pusat perlu mempertimbangkan serius tuntutan tersebut. “Pendapatan yang disumbangkan TPL kepada negara tidak sebanding dengan kerugian moral, material, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Tuntutan pencabutan izin TPL sangat beralasan dan layak dipenuhi,” tegasnya.

 

Exit mobile version